Lompat ke konten

Diskusi PDHKI Angkat Isu Reaktualisasi Hukum Waris dalam Perspektif Maqashid Ar-Raisuny

  • oleh

Perkumpulan Dosen Hukum Keluarga Islam (PDHKI) kembali menggelar diskusi ilmiah yang berlangsung meriah secara daring melalui Zoom, dengan ratusan peserta dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Diskusi kali ini mengangkat tema “Reaktualisasi Hukum Waris di Indonesia: Analisis Putusan Peradilan Agama dalam Perspektif Maqashid Ar-Raisuny”.

Acara menghadirkan narasumber utama, Prof. Dr. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag. dari UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, serta dipandu oleh Dr. Mukhsin Achmad, M.Ag. dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Dalam paparannya, Prof. Tutik menekankan pentingnya membaca ulang teks hukum waris dalam Al-Qur’an, khususnya Surat An-Nisa, dengan mempertimbangkan konteks sosial, isu kontemporer, kesetaraan gender, serta kearifan lokal. Menurutnya, tafsir terhadap ayat waris tidak bisa semata dipahami sebagai teks yang qath’iy dan bersifat ta’abbudi, melainkan juga bisa dipandang sebagai teks dzanniy dalalah yang memberi ruang ta’aqquli dalam ijtihad.

“Pendekatan maqashid ar-Raisuny membuka peluang bagi pemahaman ayat-ayat waris yang lebih menekankan aspek keadilan, kemaslahatan, dan kesetaraan. Pembagian dua banding satu antara laki-laki dan perempuan bisa dipahami secara kontekstual, di mana dua bagian untuk laki-laki adalah batas maksimal, sedangkan satu bagian untuk perempuan adalah batas minimal. Konteks sosial, kontribusi, dan peran masing-masing pihak dalam masyarakat harus ikut diperhitungkan,” jelas Prof. Tutik.

Diskusi semakin dinamis ketika membahas dialektika antara teks dan realitas sosial. Beberapa peserta menyoroti bagaimana perbedaan metode ijtihad di antara mazhab memengaruhi ruang bagi ra’yu (akal) dan wahyu (teks). Mazhab Hanafi dan Maliki, misalnya, cenderung memberi ruang lebih luas bagi akal melalui konsep istihsan dan istislah, sedangkan Mazhab Syafi’i lebih ketat dalam menafsirkan hukum berdasarkan teks.

Menurut Prof. Tutik, kondisi ini memberikan peluang bagi hakim peradilan agama di Indonesia untuk tidak sekadar menjadi pelaksana undang-undang, tetapi juga memiliki kewenangan melakukan contra legem atau legal reasoning. Dengan menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat, seperti keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan bersama, maka putusan peradilan agama dapat berkontribusi pada pengembangan hukum progresif di Indonesia.

Diskusi ini mendapat antusiasme tinggi dari peserta. Banyak yang menilai bahwa pendekatan maqashid dengan perspektif ar-Raisuny memberikan dasar metodologis yang kuat untuk reaktualisasi hukum waris di Indonesia, sehingga hukum Islam tetap relevan dan responsif terhadap dinamika masyarakat kontemporer.

Kontributor: Sukron Ma’mun (Koordinator Devisi Media, Informasi dan Dokumentasi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *