Lompat ke konten

Diskusi PDHKI: Fikih Minoritas, Jalan Tengah Muslim di Negara Non-Muslim

  • oleh

Perkumpulan Dosen Hukum Keluarga Islam (PDHKI) Indonesia kembali menggelar Mudzakarah Nasional pada 29 Agustus 2025, kali ini mengangkat tema krusial: “Hukum Keluarga Islam di Negara Minoritas Muslim”. Hadir sebagai narasumber, Prof. Dr. H. M. Noor Harisudin, M.Fil.I., Guru Besar UIN KHAS Jember sekaligus Direktur World Moslem Studies Center, yang menyoroti pentingnya pendekatan fikih yang adaptif melalui konsep Fiqh Aqalliyat.

Dalam paparannya, Prof. Harisudin menjelaskan bahwa umat Islam yang hidup sebagai minoritas di negara-negara seperti Australia, Jepang, Belanda, Jerman, dan Amerika Serikat, menghadapi tantangan hukum yang tak ditemukan di negara mayoritas Muslim. Untuk itu, Fiqh Aqalliyat atau fikih minoritas menjadi solusi relevan. “Fiqh Aqalliyat merupakan rumusan fikih yang dibangun atas dasar prinsip kemudahan, penghilangan kesulitan, serta kemaslahatan berdasarkan maqāṣid al-syari‘ah,” ujar Prof. Harisudin. Konsep ini bukan tanpa dasar. Fiqh Aqalliyat merujuk pada pendekatan hukum yang mempertimbangkan kondisi darurat dan kebutuhan umat Islam di luar wilayah mayoritas Muslim. Di dalamnya terkandung nilai-nilai keringanan (rukhsah), toleransi, dan keadilan, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 185 dan QS. Al-Hajj: 78).

Warisan dan Pernikahan Beda Agama

Isu paling menarik dalam diskusi ini adalah soal warisan dan pernikahan beda agama. Dalam fikih klasik, seorang Muslim tidak bisa mewarisi non-Muslim, dan sebaliknya. Namun, Prof. Harisudin mengangkat ijtihad modern dari ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qardhawi, yang memperbolehkan seorang Muslim menerima warisan dari kerabat non-Muslim dengan pertimbangan maslahat. Begitu pula dalam kasus pernikahan beda agama, khususnya ketika seorang istri masuk Islam sementara suaminya tetap non-Muslim. Fikih klasik memandang pernikahan otomatis batal, tetapi pendekatan Fiqh Aqalliyat melihat kemungkinan keberlanjutan rumah tangga demi menjaga keharmonisan dan stabilitas sosial, selama tidak ada intervensi negara yang memisahkan. “Fiqh Aqalliyat bukan berarti melonggarkan hukum tanpa batas, tetapi memberi ruang ijtihad yang kontekstual dan realistis,” tegas Prof. Harisudin.

Relevansi Fikih dalam Dunia Global

Mudzakarah PDHKI ini menegaskan bahwa hukum Islam tetap dinamis dan mampu menjawab realitas global melalui ijtihad yang inklusif dan berpihak pada kemaslahatan umat. Dalam era globalisasi dan mobilitas tinggi umat Islam, pembaruan pemikiran hukum keluarga menjadi sangat penting. Penutup diskusi ini menyimpulkan bahwa Fiqh Aqalliyat adalah bukti bahwa Islam bukan agama yang kaku, melainkan rahmatan lil ‘alamin, yang membawa rahmat dalam berbagai konteks kehidupan.

Kontributor: Devisi Media, Informasi dan Dokumentasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *